Rabu, 14 Maret 2012

Fakta Kejanggalan Invisible Children dan Kontroversi Kony 2012

Kehebohan video Youtube kembali merebak. Kali ini sosok yang mendadak tenar ialah Joseph Kony. Pemimpin kelompok pemberontak Lord’s Resistance Army (LRA) asal Uganda tersebut muncul dalam video dokumenter berjudul Kony 2012.

Video tentang Joseph Kony dan LRA menculik ratusan anak untuk direkrut paksa menjadi pekerja seks atau tentara cilik selama dua dekade terakhir.

Data Youtube memperlihatkan video tersebut populer di antara kalangan remaja berusia 13-17 tahun serta pemuda berusia 18-24 tahun.

Puluhan juta orang menanggapi positif video kampanye organisasi Invisible Children tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan sejumlah kejanggalan organisasi yang berbasis di San Diego, Amerika Serikat, itu.

Di Kota Gulu, Uganda bagian utara, tempat kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) yang dipimpin Joseph Kony pernah bermarkas, Beatrice Mpora selaku pejabat kesehatan masyarakat setempat mengaku LRA tidak lagi bertaring.

Pada Oktober 2011, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengirim sebanyak 100 anggota pasukan khusus untuk membantu militer Uganda memburu Kony. Imbasnya, milisi LRA terdesak ke belantara hutan di Republik Kongo, Republik Afrika Tengah, dan Sudan Selatan.

Berdasarkan data badan PBB untuk pengungsi (UNHCR), jumlah kekuatan LRA hanya sekitar 200 orang, merosot drastis dari 1.000 orang pada era 1990-an dan 2000.

Karena itu, beberapa kalangan menuding Invisible Children mencoba memanipulasi fakta dan data demi kepen tingan mereka. Jurnalis Uganda, Rosebell Kagumire, menegaskan gambaran video buatan Invisible Children merupakan potret Uganda enam hingga tujuh tahun lalu.
  
“Itu tidak terjadi saat ini. Penggambaran itu jelas tidak bertanggung jawab,” ujarnya.

Bahkan blog buatan mahasiswa bernama Visible Children menampilkan foto para pendiri Invisible Children, yakni Bobby Bailey, Laren Poole, dan Jason Russell, yang berpose dengan para anggota kelompok Sudan People’sLiberation Army.

‘Mereka (Invisible Children) memperjuangkan intervensi militer langsung. Uang yang mereka kumpulkan untuk menyokong militer Uganda dan sejumlah kekuatan militer lainnya. Baik militer Uganda maupun Sudan People’s Liberation Army ditengarai memerkosa dan menjarah warga. Namun, Invisible Children malah membela mereka’, tulis blog Visible Children.

Argumentasi itu senada dengan analisis Michael Deibert, pengarang buku Democratic Republic of Congo: Between Hope and Despair. Kepada Huffington Post, Deibert mengklaim Invisible Children gagal melihat fakta bahwa Presiden Uganda Yoseveri Museveni juga pernah merekrut bocah-bocah sebagai serdadu.

Kejanggalan berikutnya dari Invisible Children ialah alokasi dana yang kurang menyentuh rakyat Uganda. Tahun lalu organisasi itu menghabiskan US$1.859.617 untuk bepergian dan membuat ?lm dari total pemasukan sebesar US$8.894.630.

Diagram Fakta² Kejanggalan Invisible Children


Mengenai hal tersebut, Jason Russell angkat bicara. Menurutnya, membelanjakan uang untuk membuat film lebih mengubah hidup dan menampakkan hasil.

“Kami bukan organisasi konservatif. Kami bekerja di luar batas-batas pemahaman Anda mengenai sebuah lembaga amal dan nirlaba,” cetusnya.

“Jika Anda ingin mendanai pembelian sapi untuk membantu seseorang di desa, Anda bisa melakukannya. Tapi itu bukan cara kami,” tutup Russell.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar